Tampilkan postingan dengan label Kejawen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejawen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Juli 2013

Sunan Kalijaga dan Kejawen



Sunan Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen. Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga? Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.

Ada beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa kini.

Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat.

Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.

Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.

Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.

Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.

Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?

Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.

Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.

Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.

Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.

Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.

Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.

Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.

Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.

Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik

Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.

Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.

Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.

Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.

Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.

Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.

1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.

Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.

Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.

Sabtu, 20 Juli 2013

Reaktualisasi Ajaran Samin

image
(suaramerdeka.com/ Gunawan Budi Susanto)
Oleh Junaidi Abdul Munif
Samin, begitulah khalayak umum menyebut mereka. Mereka bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati hingga Tuban. Meski tak mengenyam pendidikan formal, warga Samin memiliki sikap hidup lebih santun daripada yang berpendidikan tinggi. Saminisme, ajaran hidup kaum Samin, selalu mengedepankan kejujuran dan kesahajaan.
BAGI mereka, gaya hidup orang modern sudah keluar dari koridor tujuan penciptaan manusia di bumi. Egoisme, hedonisme,
kebohongan, dan kerakusan kekuasaan adalah gaya hidup manusia modern. Korupsi (mencuri), debat kusir, dan saling fitnah tampaknya bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan saat ini. Dan, kaum Samin meyakini itulah yang memicu kerusakan di dunia.
Harmonisasi, bagi mereka, adalah tujuan utama menjalani hidup. Samin Surosentiko, pelopor ajaran saminisme, menyatakan tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. "Yang dinamakan sifat wisesa adiluhung) adalah bertindak sebagai wakil Allah," tutur Samin.
Alam dan jiwa masyarakat Samin seolah-olah sudah menyatu. Alam ibarat ibu mereka, karena alam menghidangkan kekayaan melimpah untuk dinikmati kapan pun. Karena itu mereka begitu mencintai dan menjaga alam. Wajar ketika investor asing (semen) datang dan hendak mengeksploitasi Pegunungan Kendeng, mereka berada di garda terdepan: melawan!
Orang Samin juga tidak kenal istilah berdagang. Karena berdagang, bagi mereka, selalu melahirkan unsur 'ketidakjujuran'. Mereka memilih sistem barter karena berlandaskan kejujuran dan tidak merugikan pihak lain. Bagi orang Samin, bohong adalah tabu. Mereka juga tidak menerima bantuan dalam bentuk uang.
Tabu Berbohong Raden Kohar atau Samin Surosentiko adalah otak intelektual paham saminisme. Samin lahir 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sang ayah bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kiai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) tahun 1802-1826.
Sastroatmodjo (2003) mengemukakan, saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang sewenang-wenang. Mereka tidak melawan secara fisik, tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda.
Misalnya, tidak mau membayar pajak. Resistensi itu akhirnya membuat mereka memiliki tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan tersendiri. Samin Surosentiko juga melawan kekuasaan kolonial lewat ekspansi gagasan dan pengetahuan. Samin Surosentiko mentransformasikan gagasan melalui ceramah di pendapa-pendapa pemerintahan desa. Inti ceramahnya seolah olah ingin membangun Kerajaan Amartapura.
Artinya, Samin menghendaki masyarakat bersifat jatmika (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmika selalu berpegangan pada budi pekerti. Dianggap penghasut masyarakat, tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap Belanda. Dia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera barat, dan di sanalah maut menjemput tahun 1914.
Samin Surosentiko mewariskan sebuah kitab sastra adiluhung sebagai falsafah hidup orang Samin, yakni Serat Jamus Kalimasada. Saat ini, orang Samin sering disebut sebagai Wong Sikep yang berarti, jujur, dan baik. Kini, krisis moralitas melanda bangsa ini. Hedonisme dan pragmatisme bak dewa yang selalu disembah- sembah manusia. Rakus, tamak, dan perbuatan keji lain menjadi efek pasti kedua dewa itu.
Arus globalisasi sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu. Kendati demikian, masyarakat Samin bergeming dan tetap memegang prinsip hidup mereka. Karena itulah, saminisme sangat layak dijadikan cerminan hidup. Keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan adalah representasi masyarakat Samin.
Seolah-olah tak dijumpai celah dalam kehidupan mereka untuk berbuat iri, dengki, rakus, dan perbuatan negatif lain. Sikap Mulia Ada sebuah kisah menarik sebagai ilustrasi. Suatu ketika ada orang asing tersesat di desa masyarakat Samin. Karena kelaparan dan melihat buah pisang yang masak, orang asing itu pun memetik. Namun sang pemilik memergoki. Sang pemilik sama sekali tidak marah, bahkan berkata, "Kenapa mencuri, jika meminta saja diberi?"
Sungguh, suatu sikap yang mulia. Dalam Serat Jamus Kalimasada, Samin Surosentiko mengatakan, "Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong." Ya, masyarakat Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati kepada orang lain, dan mengambil milik orang (mencuri). Sebab, semua tindakan itu merupakan awal kerusakan di bumi.
Ketika ditanya soal kejujuran, Hardjo Kardi, 'kepala adat' Samin, mengatakan, "Kejujuran adalah segalanya. Kejujuran harus menjadi dasar dan pegangan bagi manusia untuk mendapatkan kekuatan. Jangan pernah dengki dan iri hati. Semua manusia sama. Membedabedakan manusia tabu dalam mayarakat kami."
Secara eksplisit, ucapan indah itu mengindikasikan mereka senantiasa menerapkan sikap toleransi dan pluralitas. Bandingkan dengan fenomena yang acap menghinggapi manusia saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhi tindakan amoral dari berbagai pihak. Sungguh ironis.
Bangsa yang tersohor dengan kesantunan dan kesopanan sudah bermetamofosis menjadi bangsa kurang beradab, jika tidak boleh dikatakan bangsa amoral dan biadab.

Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, lan Ojo Dumeh

image
Pandangan sekaligus panduan masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang mudah diucapkan namun sulit melaksanakannya. Kita pada umumnya cenderung memiliki ego, harga diri, emosi, dan rasa ingin tahu yang tinggi yang menyulitkan kita untuk menerapkan nilai filosofi tersebut. Di balik setiap budaya di Indonesia pasti terkandung nilai-nilai kebijaksanaan lokal, termasuk di antaranya budaya Jawa. Budaya Jawa yang sebagai salah satu budaya yang tertua di tanah air ini, juga mempunyai berbagai pepatah dan idiom yang berasal dari warisan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Salah satunya yang paling tepat dengan kondisi sekarang ini adalah ungkapan “kuno” dari khasanah budaya Jawa,ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh.
Ojo gumunan, berasal dari kata ojo yang artinya jangan, dan gumunan, yang berasal dari katagumun yang artinya heran. Ojo gumunan adalah bentuk larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan perkembangan keadaan dan peristiwa atau benda yang terutama bersifat materi dan keduniawian. Masyarakat kita sekarang ini mudah sekali untuk gumun atau kagum terutama dengan berbagai bentuk pemberitaan atau tayangan melalui media massa. Kita juga gumun melihat kecanggihan teknologi negara lain, bahkan kemajuan ekonomi negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura. Bentuk kegumunan dan kekaguman ini sayangnya hanya sebatas gumun. Sebagian besar dari kita hanya menjadi penonton, berdiri di pinggir, bertepuk tangan, kadangmisuh (memaki) dan mengumpat, tanpa pernah bisa ikut menentukan hasil akhir.
Filsafat Jawa ojo gumunan, bermakna janganlah kita selalu terkagum-kagum dengan hasil orang lain sedangkan kita hanya sekedar menjadi penonton. Ojo gumunan juga bermakna kita harus selalu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan keaadan dan perubahan keadaan sekitar. Kita harus menjadi subjek dan bukan sekedar objek.
Filosofi ojo kedua adalah ojo kagetan. Makna harfiah dari ojo kagetan ini adalah jangan mudah kaget. Suka terkaget-kaget kah kita? Jawaban sebagian besar dari kita pasti YA!. Akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa di negeri nusantara ini yang membuat seluruh penduduknya terkaget-kaget, baik peristiwa yang ditimbulkan oleh perseorangan, badan dan lembaga, juga yang lebih aneh lagi adalah pemerintah juga hobby membuat rakyatnya selalu terkaget-kaget dengan aneka kebijakan yang kemudian ditarik lagi atau tidak jelas implementasinya. Kita terkaget-kaget tatkala KPK tiba-tiba menangkap jaksa dan penyuapnya, juga terkaget-kaget ketika seorang anggota DPR terlibat dalam transaksi penyuapan bahkan video porno. Kita juga kaget ketika tanpa alasan tarif jalan tol tiba-tiba naik, bahkan harga cabe dan bawang putih juga melambung, dan semua alasannya karena BBM naik.
Filosofi ojo kagetan bermakna kita harus mawas diri terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita. Ojo kagetan juga bermakna persiapan diri sendiri menghadapi perubahan sekeliling tanpa ikut berubah seperti sekeliling. Kalau kita sadar bahwa kita hidup di negeri yang serba ajaib dan aneh seperti Indonesia, maka seharusnya kita juga selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Dengan tidak terkaget-kaget terhadap kejutan-kejutan di sekeliling kita, kita akan lebih tegar dan sumeleh hidup di Indonesia.
Ojo Kagetan merupakan panduan agar kita selalu membabar terlebih dahulu terhadap segala yang terjadi. Analisis terlebih dahulu dari setiap masalah, baru tentukan strategi dan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita masih mentah dan tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya. Tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa 'sak dheg sak nyet' ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif disekeliling kita.
Ojo terakhir adalah ojo dumeh. Dumeh bermakna mentang-mentang atau sombong. Ojo dumehartinya janganlah kita sombong dalam menghadapi lingkungan disekeliling kita. Sombongkah kita? Hanya orang lain dan bangsa lain yang bisa menilai bangsa kita ini dumeh atau tidak. Tapi sadar atau tidak, kesombongan ini sebenarnya juga kita jumpai dari perilaku kita sehari-hari. Dumehatau mentang-mentang kita kaya, dengan seenaknya kita menghambur-hamburkan uang untuk belanja secara konsumtif di mall-mall mewah. Dumeh bisa membayar, kita menggunakan listrik dan BBM secara berlebihan dan hanya untuk konsumtif. Dumeh lebih pandai dari rata-rata rakyat Indonesia, kita melakukan pembodohan secara terus menerus dengan informasi-informasi yang membingungkan dan menyesatkan. Dumeh menjadi rakyat kecil, dengan seenaknya kita hanya bisa mengkritik dan mencaci maki para pimpinan, meski mereka kadang benar sekali pun.
Ojo dumeh adalah salah satu ajaran dasar leluhur kita untuk selalu melakukan introspeksi diri terhadap lingkungan, sesama manusia, dan juga kepada Sang Pencipta. Dengan tidak dumeh, maka kehidupan sebenarnya akan lebih baik dan lebih tentram. Ojo dumeh merupakan larangan agar kita jangan bersikap sombong, pamer mengenai segala sesuatu yang kita miliki. Seharusnya kita bersikap andap asor mring sapodho, atau bersikap rendah hati terhadap sesama. Segala yang kita miliki baik itu harta, jabatan, pengetahuan, maupun istri, anak, sanak saudara, ini hanyalah sementara, dan titipan dari Yang Maha Kuasa. Kita diamanahkan untuk mengamalkannya agar menjadi milik kita yang hakiki kelak di alam sesudah kita meninggalkan dunia fana ini.

10 Falsafah Hidup Orang Jawa

imageDALAM berfilosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unenuntuk menata hidup manusia. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan,"Wong Jowo sing ora njawani".
Filosofi Jawa dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Warisan budaya pemikiran orang Jawa ini bahkan mampu menambah wawasan kebijaksanaan.
Berikut 10 dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup orang Jawa.
1. Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.

2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara

Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan

Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.
7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Ngalup Pati

DULU waktu kecil saya selalu tom-tomen jika ingat matinya Dursasana dalam Bharatayuda. Rasanya mengerikan betul. Beda sekali dengan matinya Gatutkaca, Abimanyu, serta Dipati Karna. Sebab, ketiga-tiganya mati karena panah. Gatutkaca dihajar kuntawijaya, Abimanyu dikrocok panah sewu, dan Basukarna oleh pasopati dari tangan Srikandi. Sedangkan Dursasana menyerah pada kuku pancanaka dan Rujak Polo-nya Bimasena.
Matinya Gatutkaca, Abimanyu, Dipati Karna, maupun Resi Bhisma, memang mengharukan, karena di balik kematiannya ada kisah pilu tersendiri. Tapi kalau Dursasana, cara matinya itu yang bikin merinding. Bima benar-benar "menyiksanya" habis-habisan. Sambil nunggu Drupadi, Dursasana dijadikan pangewan-ewan. Sebelum kepala diremuk, tangan kakinya dilumpuhkan. Disempal-sempal dengan rujak polo sampai hancur. Karena sudah mirip bangkai, Dursana tinggal bisa ngalup pati. Melolong kesakitan di tepi bengawan Cing-cing Goling, minta segera disempurnakan saja. Tapi Bima belum juga meluluskan. Ia masih memuaskan dendam kesumatnya sejak diusir dari Hastinapura dalam kisah Pandawa Dadu. Baru setelah sang kakak ipar, Dewi Drupadi datang dengan rambut terurai siap keramas, rujak polo menuntaskan nasib Dursasana sampai di situ. Luar biasa!
Tak disangka-sangka ngalup pati seperti dialami Dursasana itu sekarang kita dengar setiap hari. Tetapi itu bukan berasal dari mulut orang macam Dursasana, namun ngalup pati-nya sanak kadang wong cilik yang nemahi pepetenging urip. Kalau dulu kita mendengarnya lewat dongeng ki dalang, sekarang lewat televisi. Sambil tiduran, baca koran dan makan kacang, kita dapat nonton mereka melolong, meratap, menangis. Tak kuasa melawan "kesaktian" para aparat ketika mempertahankan rumah, lapak, kios, gerobak dagangan yang jadi sanguning urip luru pangupajiwa. Kalau dulu Pandawa menggusur Kurawa yang lalim dan angkara murka, kini ngalup pati muncul dari mulut kalangan pidak pedarakan yang harus menyerah pada tangan besi yang merasa memiliki setiap jengkal tanah di negeri ini.
Menyaksikan simbok-simbah dan bocah-bocah yang tergusur, kadang kita hanya bisa ngelus dhadha. Apakah harus, mereka itu dirodha peksa? Harus diglandhang dadi pangewan-ewan hanya karena mereka soroh amuk, nerak angger-angger, nrajang wewaler yang sudah ditetapkan oleh para pangageng parentahaning nagari? Ah, apa pun namanya, mbok ya jangan demikian: "Ngono ya ngono, ning aja ngono."
Soalnya, pamer kekuatan menurut adat Jawa merupakan sikap yang sebaiknya dihindari. Apalagi kalau pamer kesaktian itu pada sanak kerabat sendiri, pada wong cilik ongkak-angkik, kaum pidak pedarakan yang hidupnya masih kecingkrangan! Jelas menanglah. Mana mungkin bedil dan buldozer kalah melawan bakul-bakul jalanan itu?
Namun sekali lagi, mbok aja dumeh. Seperti disampaikan oleh Ki Yasadipura dalam serat Wicarakeras-nya pupuh V, bait ke-7 yang berbunyi: "Kang rahayu budine aja tekabur/aja dumeh yen densihi, aja dumeh yen den ugung/aja dumeh denwedeni/aja dumeh den royom." Di mana maksudnya agar siapa pun mawas diri, sehingga mampu mengekang sikap sewenang-wenang kepada orang lain. Terutama bagi para penguasa, jangan sampai "kewenangan" yang dimiliki gampang berubah menjadi "kesewenangan" yang nggegirisi.
Yang memprihatinkan dari semua itu adalah ngalup pati sekarang benar-benar mawujud. Sudahmangejawantah. Bukan lagi dongeng ki dalang yang diiringi gending megatruh atau maskumambang lagi, dan kita dengan enak kepenak menyaksikannya sambil makan nyamikan dan minum kopi. Apakah dengan demikian kita juga sudah ketularan tidak punya hati seperti gada rujak polo-nya Bimasena?
Ketika Bimasena membunuh Dursasana dalam perang tanding di tepi bengawan Cing-cing Goling, jelas saat itu dirinya sedang terbakar oleh dendam kesumat yang dipendam berpuluh tahun lamanya. Maka masuk akal kalau dia tidak bergeming mendengar ngalup pati-nya Dursasana. Meskipun dirinya sadar juga kalau menyiksa musuh yang sudah kalah bukan perilaku satriya tama. Tetapi ngalup pati-nya Dursasana memang tak perlu digubris, karena lolongan itu bukan berasal dari rasa pasrah sumarah yang dilandasi kebeningan hati. Melainkan, wujud dari keringkihannya menerima sapu dendaning jagad atas keangkaramurkaannya sendiri.
Ngalup pati-nya Dursasana adalah bukti kekalahan jiwa raganya terhadap kebenaran. Sedangkan ngalup pati-nya kawula alit yang setiap hari muncul di televisi adalah lolongan tangis orang-orang tertindas, di mana milik serta kesempatannya untuk mencari sesuap nasi terampas. Jadi, meskipun mrinding membayangkan betapa remuknya mayat Dursasana saat itu, sejak kecil saya tetap bersikukuh. Dursasana pantas menerimanya.
Beda "ngalup pati" yang sekarang jadi tontonan di televisi. Rasanya mereka bukan orang-orang yang kesinungan dosa gedhe. Mereka hanya pengais rezeki, pencari remah dan sampah. Jadi, kok tidak pantas sepertinya negara memamerkan kesaktian untuk menggusurnya dari tanah Jawa yang selama ini membesarkannya?

Aja "Adigang, Adigung, Adiguna, Sapa Sira Sapa Ingsun"

image

























Adigang, adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Adigang adalah ’kijang’ adigung ’gajah’ danadiguna ’ular’ ketiganya mati bersama dalam pertikaian karena kesombongan masing-masing. Pemimpin (pandhegan) yang baik menghindari sikap aji mumpung, mumpung kuwasa, tumindak nistha, seperti ungkapan Ranggawarsita dalam Serat Sabdatama.


Pimpinan jangan diserahkan kepada yang tidak mau, maupun mereka yang ambisi, karena yang berambisi umumnya memiliki motivasi lain, seperti aji mumpung. Sifat aji mumpung bertentangan dengan dharma seorang pemimpin. Ia harus rendah hati, bijak, adil dan ber budi bawa leksana. Hal itu diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Witaradya, bahwa seorang raja yang besar, watak narendra gung binathara, mbaudhendha hanyakrawati, kutipan berikut: Dene utamaning nata, berbudi bawa laksana, lire ber budi mangkana, lila legawa ing driya, hanggung hanggeganjar saben dina, lire kang bawa laksana, hanetepi ing pangandika.


Pemimpin bangsa telah dipilih, melalui pileg dan pilpres. Siapa pun mereka pilihan bangsa. Tempat menggantungkan harapan dan masa depan yang lebih baik di bumi yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas, tata titi tentrem kerta raharja, dalam arti murah sandang pangan seger kuwarasan, bukan hanya slogan. Mutiara kata itu harus direalisasikan oleh mereka yang mendapatkan amanah, sebagai perwujudan lukisan negeri Amarta yang didendangkan ki dalang dalam pentas wayang. Bukan sekedar impian, dengan memanfaatkan potensi alam anugerah Allah Swt. yang membentang sepanjang khatulistiwa, dalam bentuk hutan, gunung, laut dan sungai, simpanan harta karun yang tak ternilai harganya. Semua dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Mereka harus bekerjasama saiyeg saekapraya membangun bangsa. Eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki tugas membangun negara dan bangsa. Sebagai pemimpin mereka memiliki tanggung jawab yang cukup berat. Kesejahteraan rakyat tidak bisa diwakilkan, tetapi direalisasikan. Bila wakil rakyat hidup sejahtera bukan berarti rakyat pun meraskannya.


Janji


Pemimpin harus memegang teguh janji yang diucapkan di depan rakyat. Janji adalah hutang, yang wajib dibayar. Sabda pandhita ratu salah satu falsafah Jawa dan konsep pengejawantahan janji adalah hutang, yang didukung frase ajining diri saka obahing lathi ajining sarira saka busana, aja waton omong nanging omonga nganggo wawaton, ilat ora ana balunge, esuk dhele sore tempe, mencla-mencle, bukan sikap seorang pemimpin, melainkan konsep sedikit bicara banyak bekerja yang sebaiknya dipegang teguh. Mereka dipercaya oleh rakyat. Mengembalikan kepercayaan yang hilang lebih sulit dari pada membangunnya. Falsafah Jawa mengatakan bahwadrajat, pangkat lan semat bisa oncat. Hal itu menjadi bahan pertimbangan bagi para pemimpin. Di dunia tidak ada yang langgeng. Semua serba sementara, bagaikan kilat menyambar sekejap tanpa bekas. Saat mejabat ia terhormat dan dipuja, pergantian tiba, ia dihujat dan dihina, kawan dan sahabat seakan tak mengenalnya. Ia dilupakan. Mengenaskan.


Masyarakat Jawa percaya bahwa wahyu kaprabon, dalam diri seorang pemimpin masih ada. Asal pemimpin masih sanggup memberikan pangayoman, maka rakyat akan loyal. Seorang pemimpin harus waspada. Sebab di antara punggawa ada yang mbalela, sengaja berkhianat demi jabatan yang diincarnya. Bagi masyarakat konsep ratu adil, wahyu dan pulung merupakan trilogi dalam demokrasi. Sedangkan trilogi yang dianut oleh kraton Mangkunagaran, melu handarbeni, wajib hangrukebi, mulat sarira munggengwani. Bahwa seorang pemimpin harus merasa memiliki, membela kebenaran dan mawas diri. Mau mengakui kasalahan pribadi tanpa menyalahkan orang lain.

Ayo, Siapa Berani Memimpin?

image















JANGAN pernah melihat kepemimpinan hanya dari yang memimpin. Cobalah pula untuk menengok paras yang dipimpin.
Bukankah antara yang paring pengayoman dan konjuk kabekten mesti membangun relasi "saling mengerti".
Sugiharto dalam buku Kepemimpinan Jawa (2010) menyebut setidaknya ada tiga situasi yang akan dihadapi orang dalam menduduki jabatan, yakni pemimpin, pengikut, dan situasi. Pemimpin terkait dengan personalitas, posisi, kepakaran. Pengikut berhubungan dengan kepercayaan, kepatuhan, dan pemikiran kritis. Situasi berkaitan dengan kerja, tekanan, dan lingkungan. Tiga elemen ini saling berinteraksi dalam hubungan saling membutuhkan dengan kapasitas masing-masing.
Memahami proses kepemimpinan dengan baik memang dapat dilakukan hanya dengan melihat sosok pemimpinnya, tetapi juga pengikutnya.
Bagaimana pemimpin dan pengikut saling memengaruhi, juga bagaimana situasi bisa memengaruhi kemampuan dan tingkah laku keduanya.
Pakar pedalangan Bambang Murtiyoso mengemukakan, pemimpin haruslah memiliki kepekaan lebih dan mengerti skala prioritas. Mana perkara yang harus diselesaikan dahulu, itulah yang harus dipriporitaskan (hambeg paramarta). Selain itu, pucuk pimpinan harus pula dapat mengelola segala sesuatu dengan baik supaya orang-orang di bawahnya tidak iren.
Dalam konsep Jawa, Murtiyoso mengatakan, sering dikenal istilah aweh payung marang wong kang kudanan, aweh teken marang wong kalunyon, aweh boga marang wong kaluwen, aweh banyu marang wong kasatan. `'Telah jelas dalam unenunen tersebut, sosok pemimpin haruslah memberikan sesuatu apa pun yang tepat sasaran,“ ujar penulis buku Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang itu.
Konsekuensi dari hal tersebut, dia melanjutkan, orang yang memimpin tak boleh mempunyai keberpihakan, sekalipun kepada keluarga. Bila dalam perjalanannya mungkin ada kesalahan yang diperbuat, harus diberi peringatan sampai dengan hukuman, sesuai dengan tingkat kesalahan, kepada siapa pun. Termasuk memberikan penghargaan kepada yang berprestasi.
Murtiyoso kemudian mencontohkan, dalam melindungi rakyatnya, pemimpin -dalam hal ini pemerintahharus berwatak keprajuritan. Hal ini sungguh penting untuk melindungi dan menjamin rakyat terbebas dari ancaman keamanan. Sebuah negara harus mampu mengelola keamanan dengan baik, mencegah ancaman yang datang dari dalam maupun luar.
Selain itu, pemerintah pun seyogianya mampu menjamin kesejahteraan warga. Sedapat mungkin warga diarahkan untuk pekerjaan yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam dan manusia. “Semua hal itu tidak mungkin tercapai jika punjering adil hanya mengandalkan setumpuk laporan dari bawahan. Lebih sulit lagi memajukan negara, jika pucuk pimpinan masih mengedepankan materialistis, semua diukur dengan materi,“ kata pakar pakeliran itu.
Dalam dunia pewayangan, telah digambarkan pula bagaimana ayah dari para Kurawa, Destarastra, menyesali dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak dapat melihat, banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintah negara sebesar Hastinapura. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan yang sering tidak sesuai dengan kenyataan. Syahdan, negara kala itu pun karut marut.
Mengingatkan Sedangkan dalam konteks mengingatkan pemimpin, Murtiyoso mengatakan, semenjak dahulu Jawa selalu mengedepankan musyawarah. Makin minimnya komunikasi antara ratu dan rakyat menandakan buruknya keadaan. “Bila tidak menemukan jalan keluar, dahulu rakyat melakukan laku pepe -berjemur di terik mataharisebagai bentuk protes kepada ratu,” jelasnya. Sistem pemerintahan yang kala itu feodal, membuat pemimpin sebagai sentral pengendalian wilayah. Pemangku kepentingan dapat menjamin dan bertanggung jawab penuh atas rakyatnya.
Senada dengan Murtiyoso, nilai-nilai kepemimpinan juga disebutkan Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama. Raja yang memerintah Surakarta tahun 1853-1881 itu banyak menyampaikan nilai seperti andhap asor, bersikap kesatria, dan menjalankan laku prihatin dalam tembang Sinom; Bonggan kang tan merlokena, mungguh ugering ngaurip, uripe ing tri prakara, wirya harta tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan katelu, telas telasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara. Tembang ini pada intinya mengajarkan, dalam kehidupan, orang harus memiliki martabat atau harga diri. Ia harus mampu meraih tiga perkara, yaitu kedudukan, kekayaan, dan kepandaian. Jika ia tidak mampu meraih hal itu, hilanglah martabat kemanusiaannya; lebih berharga daun jati kering.
Dosen Jurusan Hukum Universitas Negeri Semarang Dr Indah Sri Utari mengemukakan, dalam konteks kepemimpinan, Ki Hadjar Dewantara telah banyak memberikan teladan. Bahkan hingga kini menjadi jargon pendidikan; ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ing ngarsa sung tuladha menekankan peran seorang pemimpin sebagai tokoh yang harus bisa diteladani, sebagai nakhoda, ia harus membimbing dan memberi arah ke mana kapal hendak ia bawa.
Ing madya mangun karsa, pemimpin harus bisa membangkitkan semangat orang yang ia pimpin. Membangkitkan gairah untuk mewujudkan kepentingan bersama. Seorang pemimpin adalah motivator, tak ubahnya matahari yang mampu memberikan energi kepada semua makhluk hidup di bumi.
Akhirnya, seorang pemimpin harus mempu bersikap tut wuri handayani, menyediakan kesempatan untuk berkembang bagi yang dipimpin.
Seseorang memenuhi syarat untuk menjadi seorang pemimpin ketika dia mampu mengedepankan orang lain terlebih dahulu. Keberhasilan memimpin terkait juga dengan keberhasilannya membuat orang-orang yang dipimpinnya berhasil. “Secara hakiki seorang pemimpin adalah seorang yang memegang kendali untuk membuat orang lain mendapatkan kendali. Kewenangan yang dimiliki pada hakekatnya adalah kewenangan untuk memungkinkan orang lain memiliki kendali atas pekerjaan dan kehidupannya,“ kata Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unnes itu.
Sampai batas tertentu, simbolisme itu perlu dan baik, asalkan tidak over dan berdasar pada realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna mencapai makna yang nyata dari simbol-simbol itu sendiri. Kita menaruh kekhawatiran besar, jika kemudian yang menjadi penting adalah ungkapanungkapan sebagai hegemoni pencitraan, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku budaya masyarakat.
Seiring laju zaman, apa yang terjadi pada masamasa berikutnya adalah terbentuknya formula baru tentang konsep kepemimpinan. Namun, kita tetap mendambakan sosok kepemimpinan yang melekat pada diri seorang pemimpin, dengan kesempurnaan karakter seorang Satria Pinandhita, yang mungkin hanya dapat kita raih melalui mimpi-mimpi kita.
Setiap pemegang kekuasaan haruslah satyawacana, satunya kata dengan perbuatan. Hal itu penting untuk mempertahankan kepercayaan dan kewibawaan di mata rakyat. Makin minimnya keteladanan aktual dan hanya mengedepankan konteks verbal, membuat rakyat kian minim kepercayaan dan benar-benar merindukan sosok pemimpin yang mengayomi. 

"AJI"

BELUM lama ini saya naik mobil disopiri Fadli, teman yang sarjana pertanian. Ketika lewat bulak panjang kami melihat banyak sekali petani sedang tandur atau menanam padi di hamparan sawah yang amat luas. Bahkan sebagian besar sawah sudah menghijau oleh padi yang belum lama ditanam. Saya sedang menikmati mozaik yang menutupi sawah luas itu ketika Fadli tiba-tiba bertanya. "Apakah para petani itu mengerti dan menyadari bahwa yang sedang mereka lakukan adalah upaya menangkap enerji matahari?"
Wah, ini pertanyaan seorang sarjana pertanian. Ya, bertanam padi adalah upaya menangkap dan menyimpan energi matahari melalui proses fotosintesis. Proses ini terjadi dalam butir-butir hijau daun. Gampangnya, dalam butir hijau daun bertemu dua unsur penting yaitu air dan sinar matahari dan zat-zat hara. Maka terbentuklah tepung atau karbohidrat yang menjadi sumber energi dalam tubuh manusia.
Pertanyaan Fadli belum saya jawab. Saya malah jadi ingat tetangga penjual es dawet yang setiap pagi memecah biji kelapa untuk diambil santannya. Apakah dia menyadari ketika kelapa terpecah telah terjadi pembebasan energi, yaitu kekuatan yang tadinya mengikat biji itu berbentuk bulat dan utuh?
Saya tersenyum karena jawaban untuk Fadli sudah saya temukan dengan pasti. "Tidak." Namun jawaban ini masih saya simpan di hati karena pikiran saya terus melayang. Saya teringat data terakhir menyebutkan penduduk Indonesia hanya 17% yang tamat SLTA. Jadi khusus masyarakat Jawa juga demikian. Dari jumlah itu pasti tidak semuanya mampu memahami proses fotosintesis terjadi dalam butir hijau daun. Juga tidak semuanya fasih bicara seputar energi (kalau enerjoss, tak tahulah).
Atau lihatlah ke belakang. Pada 1830-an sesudah Perang Dipanegara, ada penelitian yang menyebutkan tingkat pengetahuan sains orang Jawa dewasa setara dengan anak-anak usia 12 tahun di Belanda. Padahal tentang apa, mengapa dan bagaimana energi itu hanya bisa diungkap melalui ilmu pengetahuan sains dan teknologi.
Tapi jangan kira orang Jawa tidak punya pengertian tentang daya yang gampangnya bisa dikatakan sama dengan energi. Ketika mengatakan "Rosa!" untuk mengiklankan sebuah minuman suplemen, Mbah Marijan jelas sedang menyebut besaran energi. Lebih-lebih dalam cerita wayang. Dalam lakon Rama Nitis (Prabu Rama tokoh utama cerita Ramayana yang Buddha menitis kepada Raja Puntadewa, tokoh cerita Mahabarata yang Hindu, dan ini terjadi khas di Jawa) ada pertempuran antara Bima dan Hanoman.
Dalam pertempuran itu Bima matak-aji Lembu Sakethi dan Hanoman menggunakan aji Bala Sewu. Dengan aji Lembu-Sakethi Bima jadi punya kekuatan setara dengan energi yang dimiliki oleh sepuluh ribu sapi. Aji Bala Sewu menyebabkan Hanoman kuat seperti seribu raksasa. Lembu Sakethi dan Bala Sewu adalah besaran energi. Sama juga dengan kekuatan senjata Kunta Wijayadanu yang dipakai oleh Karna untuk merontokkan Gatotkaca. Senjata itu dipercaya oleh orang Jawa punya kekuatan dahsyat dan mampu mengejar dan menemukan sasarannya sendiri. Jadi senjata ini harus punya energi yang dahsyat pula.
Jadi sesungguhnya sejak dulu orang Jawa sudah tahu ada sesuatau yang namanya daya, kekuatan, atau energi. Namun pengetahuan itu tumbuh dan terbungkus dalam pola pikir mitologis, tidak dalam pola pikir empirik. Andaikata orang Jawa sejak dulu meletakan perihal energi itu dalam pola pikir empiris, mungkin aji Lembu Sekethi dan sebagainya akan diaplikasikan kedalam kehidupan nyata sebagai kincir air, kincir angin, mesin letup, atau mesin uap. Senjata Kunta Wijayadanu akan diolah melalui rekayasa teknologi menjadi smart bomb atau peluru kendali yang bisa mencapai sasaran di mana pun targetnya berada.
Sayang, karena dipandang secara mitos maka simbol-simbol energi yang berupa aji-aji itu yang tinggal jadi aji yang hanya hidup di alam dongeng dan tidak memberi manfaat nyata. Lain halnya di dunia Barat. Ketika abad silam Yules Verne memnulis cerita mitos tentang penerbangan antarbintang dengan wahana yang disebutnya sebagai rocketship, orang di Barat berusaha mewujudkannya melalui kajian empirik dan berhasil. Kalau orang di Barat seabad lalu memasang mesin di kereta-kereta kuda, orang Jawa hingga saat ini malah hanya memandikan misalnya kereta Kiai Garuda Yaksa yang buatan Inggris itu dalam suatu ritual yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak aneh kalau air cucian kereta tua itu dipercaya bisa menjadi berkah.
Tapi nanti dulu. Mari bicara soal ilmu teluh atau santet yang masih hidup dan dipercaya eksistensinya di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam perteluhan, orang bisa memasukkan piring, bahkan paku ke dalam orang tertentu yang dijadikan korban. Dalam hal ini dunia perteluhan hanya mengatakan bahwa dengan mantra tertentu, laku tertentu maka orang bisa memasukkan benda apa saja ke dalam tubuh manusia tanpa mebuat jejak apa pun. Dan apa kata mereka yang berada di dunia empirisme?
Mereka tidak bisa bilang apa-apa kecuali menyusun hipotetis yang spekulatif. Bahwa benda-benda itu telah diubah oleh para dukun teluh menjadi eter, bentuk keempat benda setelah kondisi padat, cair dan gas. Eter ini adalah energi. Sebab konon benda atau materi sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan adalah energi yang terperangkap dalam kondisi tertentu.
Sepanjang spekulasi tadi, setelah berubah menjadi eter benda itu dikirim ke korban dengan mudah karena sifatnya yang mampu menembus segala benda. Dan sampai di tujuan eter itu dikembalikan ke status semula sebagai benda padat, menjadi, piring, rambut dan sebagainya. Konon.
Namun konon atau tidak, teluh atau santet masuk wilayah hukum resmi sehingga kategori pidana santet. Jadi permainan energi, walaum hanya berkembang di alam klenik dan mitologi, orang Jawa tidak ketinggalan. Masalahnya, jangan coba-coba tanya kepada orang Jawa yang jadi tukang santet berapa banyak energi yang diperlukan untuk mengirim paku dan sebagainya. Ke dalam perut manusia? Yakin, dia tidak akan bisa menjawab.

Semar Jupuk Prei

image












Neng  Karangdhempel leledhang Kiai Lurah Semar sepranakane Miyat kebon, kebon tegal lan aleren Sami ngundhuh tarupala Suka sindhen sesendhonan Sarwi anjoged genti-genti.
SEKAR tengahan pranasmara ini memberi gambaran ketika Semar sekeluarga sedang cuti. Semar adalah Ketua Dewan Pamomong di Kabupaten Madukara. Bupatinya Drs Janaka SH, MSi, MBA, MM, terpilih karena kakaknya jadi presiden di Republik Amarta dan berkolusi dengan para pengusaha pembalak hutan. Sebetulnya Semar sedih menghadapi kenyataan ini, apalagi Bupati Janaka suka main asmara dengan artis-artis. Malah sudah beredar rekaman adegan porno antara Janaka dengan seorang ronggeng Ibu Kota. Tambah lagi, banyak anggota dewan yang dipimpin terpilih dengan modal ijazah palsu, dan kini hidup sangat pragmatis, kemaruk, licik, dan luar biasa kagetan. Tapi Semar sudah lama sadar seburuk apa pun kenyataan yang ada, semuanya harus diterima. Right or wrong is my country. Dan dia adalah pamomong.
Jadi pamomong memang berat dan sering membuat hati Semar sangat tertekan. Maka ketika datang waktu cuti Semar membawa anak dan istri liburan ke kampung halaman, Karangdhempel. Tidak ke Bali atau ke Jakarta untuk bersenang-senang? O, itu bukan cuti, bukan, leren apalagilerem. Cuti adalah ngaso, gawe aso, melambatkan perputaran cakra kehidupan. Bagi Semar, cuti harus berarti leren dan leremLeren adalah istarahat raga yang dibarengi jiwa yang lerem. Maka dalam waktu cuti itu Semar tidak pergi ke tempat lain untuk berhura-hura, tetapi pergimiyat kebon, melihat kebun. Dan di kebun itu Semar dan keluarga tidak bertindak sebagai tuan tanah, tapi sebagai pembaca sastra kang gumelar untuk menambah kearifan hidup.
Ngundhuh tarupalataru adalah pohon, pala adalah buah. Apakah ngundhuh tarupala berarti memetik buah-buahan? Bagi anak-anak Semar, itu benar. Namun bagi Semar sendiri pemahamannya lebih dari itu. Ngundhuh tarupala bukan hanya memetik melainkan juga mengambil pelajaran dari pepohonan dan buah-buahan.
Pepohonan adalah peraga amat baik yang disajikan alam untuk bahan pemelajaran bagi siapa saja yang ingin selalu menambah kekayaan jiwa. Lihatlah, betapa tak ada pepohonan yang merusak tanah di bawahnya atau menjadikannya tidak subur. Pepohonan menahan air dengan akar-akarnya untuk menghidupkan beragam jenis bakteri dalam tanah. Daunnya yang berguguran akan membusuk dan dengan demikian zat-zat hara akan dikembalikan ke asalnya.
Pepohonan menghasilkan buah yang akan menjadi makanan buat berbagai jenis binatang dan manusia. Pepohonan pada siang hari menghasilkan oksigen yang menjadi unsur vital dalam kehidupan manusia maupun binatang, bahkan mesin-mesin. Pada buah-buahan pun banyak sekali pelajaran. Buah durian misalnya. Di dalam buah ini ada biji yang akan tumbuh dan menjadi pohon baru. Namun agar bisa hidup lebih baik maka pohon baru harus tumbuh jauh dari induknya. Durian tak punya tangan atau kaki untuk membawa bijinya menjauh. Maka durian akan memberi upah kepada binatang yang mau mebawa bijinya pergi. Binatang itu adalah kera, musang, dan juga manusia. Dan upah yang disediakan berupa daging buah yang lembut, manis dengan aroma khas durian.
Ketika memerhatikan anak-anaknya yang sedang memetik buah-buahan itu Semar tersenyum. Andaikan semua manusia seperti pepohonan itu yang selalu hidup dengan menghidupi mahluk-mahluk di sekelilingnya, yang tumbuh dan berkembang dengan menjaga keseimbangan dengan mereka yang hidup di sekitarnya.
Selesai ngundhuh tarupala, anak-anak Semar bergembira ria, bertembang dan menari berganti-ganti; suka sindhen sesendhoan, sarwi anjoged genti-genti. Semar membiarkan anak-anaknya terus bertembang sambil menari. Karena dia tahu tembang dan tarian itu bukan umbaran nafsu melainkan ekspresi yang spontan dan sederhana atas rasa syukur kepada Sang Pemberi buah-buahan.
Namun semua kegembiraan di Karangdhempel tiba-tiba berhenti ketika dari jauh terdengar tabuh bertalu. Bedhug. Itu menandhakan matahari sedang berada pada titik kulminasi langit. Radiasi matahari sedang berada pada puncak intensitasnya. Segala sesuatu yang ada di alam raya menjadi lebih peka dan keseimbangannya sedang rawan. Maka semua kegiatan harus leren, ngaso, berhenti. Manusia harus menunggu sampai alam lerem kembali sebelum memulai kegiatan selanjutnya. Kalau tidak dia bisa terhisap dalam pusaran ketidakseimbangan alam yang akan berpengaruh buruk pada dirinya. Maka Semar dan anak-anaknya duduk diam di bawah pepohonan. Mereka diam dan menunggu sampai matahari tergelincir.
Pulang dari Karangdhempel, Semar masuk kembali memimpin Dewan Perwakilan Pamong di Kabupaten Madukara. Leren, ngaso, atau cuti telah membuat raganya lebih segar dan jiwanya lebih kaya. Leren adalah menengok sebentar ke belakang untuk melihat apakah langkahnya tidak menyimpang. Ini penting karena Semar amat sadar lintasan hidupnya akan berakhir pada lerenyang sebenarnya, yakni ketika bali marang pangayunaning Pengeran sudah tiba. Agar bisa pulang dengan selamat alur hidup yang ditempuh tidak boleh sesat. Upamane wong agesang, tan wurung mulih. Leren.

Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati Mati

image

Arti dari peribahasa “Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati” adalah keturunan orang kecil bisa jadi orang besar, sedangkan keturunan orang besar justru tidak menjadi apa-apa. Hal ini wajar-wajar saja. Keturunan wong cilik kalau keras berupaya ya akan sukses. Peribahasa ini menyemangati wong cilik untuk maju dan memberiwarning wong gedhe supaya tidak terlena.
Pepatah Jawa ini secara harfiah bisa juga diartikan tunggak (pohon) jarak menjadi banyak tunggak jatimati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan.
Sedangkan tanaman jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang induknya.
Ada contoh bagus dari M Ng Mangunwijaya dalam Serat Warasewaya, yang pernah dicetak di Surakarta tahun 1916 tentang paribasan ini, dalam tembang macapat Gambuh. Pada bait ke 26 disebutkan yang intinya: walaupun priyayi darah raja kalau tidak pandai ya tidak akan direkendalam pergaulan. Kemudian pada bait ke 27 dikatakan walaupun anak dusun, kalau menguasai ilmu, akan kaya dan terhormat. Lengkapnya sebagai berikut:

26. Ing jaman mengko kulup, nadyan pyayi lan darahing ratu, yen tan pinter utawa nora kasait, nora pati den paelu, arang sinaruwe ing wong.

27. Nadyan trah bau dhusun, lamun wasis samubarang kawruh, sugih dhuwit sanggon-ĂȘnggon den ajeni, dhasar darajade ruhur, keringan sinembah ing wong.
Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/ trah bangsawan/ berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati).
Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa.
Artinya, orang tuanya adalah orang biasa- biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).
Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/ berkedudukan/ berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.