Arti dari peribahasa “Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati” adalah keturunan orang kecil bisa jadi orang besar, sedangkan keturunan orang besar justru tidak menjadi apa-apa. Hal ini wajar-wajar saja. Keturunan wong cilik kalau keras berupaya ya akan sukses. Peribahasa ini menyemangati wong cilik untuk maju dan memberiwarning wong gedhe supaya tidak terlena.
Pepatah Jawa ini secara harfiah bisa juga diartikan tunggak (pohon) jarak menjadi banyak tunggak jatimati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan.
Sedangkan tanaman jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang induknya.
Ada contoh bagus dari M Ng Mangunwijaya dalam Serat Warasewaya, yang pernah dicetak di Surakarta tahun 1916 tentang paribasan ini, dalam tembang macapat Gambuh. Pada bait ke 26 disebutkan yang intinya: walaupun priyayi darah raja kalau tidak pandai ya tidak akan direkendalam pergaulan. Kemudian pada bait ke 27 dikatakan walaupun anak dusun, kalau menguasai ilmu, akan kaya dan terhormat. Lengkapnya sebagai berikut:
26. Ing jaman mengko kulup, nadyan pyayi lan darahing ratu, yen tan pinter utawa nora kasait, nora pati den paelu, arang sinaruwe ing wong.
27. Nadyan trah bau dhusun, lamun wasis samubarang kawruh, sugih dhuwit sanggon-ênggon den ajeni, dhasar darajade ruhur, keringan sinembah ing wong.
26. Ing jaman mengko kulup, nadyan pyayi lan darahing ratu, yen tan pinter utawa nora kasait, nora pati den paelu, arang sinaruwe ing wong.
27. Nadyan trah bau dhusun, lamun wasis samubarang kawruh, sugih dhuwit sanggon-ênggon den ajeni, dhasar darajade ruhur, keringan sinembah ing wong.
Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/ trah bangsawan/ berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati).
Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa.
Artinya, orang tuanya adalah orang biasa- biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).
Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/ berkedudukan/ berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar