Senin, 22 Juli 2013

Pencitraan Jokowi

Headline


Saat ribut-ribut soal Jokowi dan Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kiwir dan Misro rekannya berbincang di salah satu warung kopi di Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Kiwir: Saya heran, kenapa itu para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta mengkritik langkah Gubernur Joko Widodo membagikan KJS. Gubernur mikirin rakyat kok disalahin?
Misro: Jelas, Jokowi harus dikritik. Saya setuju kebijakan itu diinterpelasi anggota DPRD Jakarta. Saya baca di koran, orang DPRD bilang pembagian KJS itu harusnya jangan dilakukan Jokowi sendiri. Kan bisa dibagikan oleh kepala puskesmas, camat atau lurah?
Kiwir: Lho, tapi minggu lalu Jokowi kan hanya membagikan 50 kartu saja, bukan seluruh KJS.
Misro: Ya, tapi apa tujuannya? Itu kan cari popularitas namanya… Pencitraan. Dia kan sudah jadi gubernur; buat apa lagi blusukan kayak begitu – kayak orang lagi kampanye saja.
Kiwir: Nah, justru itu Bung. Kalau itu dilakukan saat kampanye, itulah pencitraan; seolah-olah peduli pada rakyat, tapi nanti kalau sudah terpilih jadi gubernur justru lupa pada rakyatnya. Ingat gak lelucon saat pemilu legislatif dulu, tentang bedanya pil KB dan ‘pil-leg’?
Misro: Oh iya. Ingat. Bedanya, kalau pil KB ketika ‘lupa’ bisa ‘jadi’, kalau pil-leg kalau sudah ‘jadi’ terus ‘lupa’… Bisa aja Bang Kiwir ini…
Kiwir: Nah itu. Jokowi melakukan itu justru untuk menunjukkan kepeduliannya pada rakyat, bukan pencitraan.
Misro: Maksudnya?
Kiwir menjentikkan abu rokoknya. Tersenyum sebentar, lalu melanjutkan.
Kiwir: Begini. Kegiatan Jokowi itu bukti bahwa setelah terpilih jadi gubernur ia tidak lupa. Ia tetap mikirin kepentingan rakyat. Jokowi bukan membangun citra, Bung Misro. Ia membangun reputasi, ‘nama baik’ sebagai pemimpin yang memang ‘care’ pada rakyat banyak. Berkat kepedulian gubernurnya sekarang kita bisa lihat sudah dua jutaan warga tak mampu Jakarta yang terdaftar dalam program KJS. Mereka kan senang, Bung, bisa dapat layanan kesehatan gratis di puskesmas, rawat inap kelas III dan IGD.
Misro: IGD apaan sih Bang?
Kiwir: Itu singkatan Instalasi Gawat Darurat, bagian rumah sakit untuk menangani kegawatan seperti kecelakaan atau tindakan medis yang mendesak.
Misro: Tapi, saya pikir daripada sibuk begitu, bukankah lebih baik Jokowi melobi Kementerian Kesehatan, biar kuota pembayaran untuk rumah sakit bisa meningkat?
Kiwir: Ah, soal kuota pembayaran, atau konsekuensi yang muncul ‘kan bisa dibicarakan dalam beberapa minggu atau bulan mendatang. Tetapi kalau rakyat sakit sekarang, apa harus menunggu beberapa minggu? Keburu penyakitnya gawat dong…
Misro: Tapi, kenapa kesannya Jokowi ingin cari popularitas?
Kiwir: Itu kan persepsi sebagian anggota DPRD saja. Itu kan abstrak, dan bisa beda antara satu orang dengan orang lainnya. Buktinya, yang ngotot mau interpelasi toh hanya sebagian kecil saja…
Misro mengerenyitkan dahi, seperti orang berpikir serius… Ia menyeruput kopinya.
Misro: Tahan dulu Bang. Tadi Bang Kiwir bilang, persepsi itu abstrak. Maksudnya gimana?
Kiwir: Persepsi itu ada di benak manusia – sesuatu yang abstrak, atau absurd, tapi bisa kita rasakan. Bahkan bisa dianalisa dan disiasati. Orang yang tidak suka pada seorang pemimpin bisa merekayasa agar rakyat mempersepsi pemimpin itu jelek. Tapi kalau Jokowi, saya yakin ia dipersepsi sangat baik oleh sebagian besar rakyat Jakarta. Ia sederhana seperti rakyat kebanyakan. Mungkin ia bukan orang yang sangat pintar, tetapi jelas ia dipersepsi sebagai pemimpin yang punya empati besar pada masyarakat. Itu sebabnya reputasinya bagus. Reputasi ya Bung, bukan citra.
Misro: Jadi, Jokowi sendiri secara tidak langsung mengolah persepsi rakyat agar reputasinya bagus?
Kiwir: Betul. Politisi, sebagaimana praktisi public relations, bisa mengolah hubungan jangka panjang dengan audience-nya, dalam hal ini rakyat Jakarta, lewat berbagai program yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan reputasinya.
Misro: Apa manfaatnya buat Jokowi, Bang?
Kiwir: Makin bagus reputasi seseorang, maka publiknya makin mudah dibujuk, dan tidak sensitif lagi terhadap ’pengorbanan’ atau harga tinggi yang harus dibayar. Sehingga jika Pemda DKI mau bikin macam-macam rencana baru, misalnya, maka rakyat tidak keberatan, karena mereka sadar bahwa gubernurnya baik, mikirin rakyat. Mereka jadi sadar, anu.. maksud saya, mereka mempersepsi Pemda DKI sebagai ’melakukan itu demi rakyat’.
Misro: Jadi kalau harus digusur atau dipindahkan, rakyat gak nolak? Gitu?
Kiwir: Benar. Persepsi kita sangat menentukan bagaimana kita melihat dunia, atau bagaimana kita menyikapi apa yang ada di hadapan kita. Secara mikro, persepsi mengontrol pesan yang disampaikan oleh panca indera kita ke otak. Dari situlah muncul pikiran – sesuatu yang sering dikatakan ’mind’ atau kognitif kita, tentang ’sesuatu’, atau sebuah ’nilai’ mengenai suatu keadaan, sebuah produk, seorang tokoh atau sebuah partai politik.
Misro: Wah, hebat. Bang Kiwir ini ilmiah banget... Terus?
Kiwir: (sambil tersenyum) Setiap’brand’, entah itu nama sebuah produk atau seorang tokoh politik, umpamanya, mesti dikelola agar ’pesan-pesan’ yang dikomunikasikannya bisa dipersepsi oleh publiknya sebagai ’bagus’. Artinya nilai ’brand’ itu tinggi.
Misro: Jadi persepsi itu penting ya?
Kiwir: Sangat penting. Sebab, pada kenyataannya apa yang dipersepsi konsumen atau pasar, atau rakyat Jakarta dalam kasus Jokowi kita ini, lebih penting dari ’kenyataan’ yang ada. Karena berhasil mengubah persepsi khalayak, brand seperti Mercedes dan Samsung bisa sukses.
Misro: Jadi, apa yang dipersepsi publik mengenai seorang tokoh atau sebuah partai politik menentukan apakah ia akan dipilih dalam pemilu yang diikutinya? Lalu, apa bedanya dengan pencitraan?
Kiwir: Beda, Bung. Pencitraan alias image bersifat dangkal dan tidak murni. Seperti gincu atau bedak cewek yang berdandan sebelum ke pesta, ia hanya berlangsung untuk jangka pendek di mata salah satu pemangku kepentingan saja. Sedangkan reputasi harus dibangun dalam jangka panjang.
Misro: Jadi, reputasi adalah karakter yang konsisten dalam sebuah brand ya? Kalau begitu, ia jadi aset paling berharga dong, Bang?
Kiwir: Benar. Reputasi itu adalah gabungan kebiasaan-kebiasaan -- atau personality – brand tertentu yang dilihat oleh mata seluruh khalayaknya, atau, dalam kasus Jokowi, oleh seluruh lapisan masyarakat di Jakarta ini.
Misro: Jadi, bisakah kita katakan bahwa image merupakan apa yang ‘dikatakan’ sebuah produk atau seorang tokoh, sedangkan reputasi muncul dari berbagai pengalaman pribadi dan ‘apa kata orang’ lain mengenai brand itu?
Kiwir: Tepat. Nah, ternyata Bung Misro pintar sekali. Memang segala yang dikatakan orang -- atau istilahnya ‘words of mouth’ -- yang muncul tentang brand itu adalah reputasi.
Misro: Dengan kata lain, pencitraan bisa disiasati ya; sedangkan reputasi harus diraih?
Kiwir: Persis. Itu sebabnya reputasi harus dibuktikan melalui apa yang dilakukan brand atau sang tokoh, dan memerlukan hubungan jangka panjang antara dirinya dengan berbagai khalayak luas. Seorang tokoh seperti Jokowi, sebuah partai politik atau sebuah ‘brand’ produk boleh saja sibuk dengan ‘pencitraan’, tapi ia tidak akan bertahan lama. Kalau ingin unggul dalam persaingan, ia mesti memupuk reputasi yang baik dalam periode yang panjang dan terus menerus – sehingga dapat melicinkan jalan baginya untuk memperoleh penerimaan dan pujian dari konstituen atau pasarnya.
Misro: Jadi, reputasi tidak datang secara kebetulan?
Kiwir: Tidak Bung. Ia berkait dengan kepemimpinan, manajemen, cara organisasi itu beroperasi, kualitas produk atau kepribadian seorang tokoh; dan – yang sangat penting – hubungan baik dengan pemangku kepentingannya melalui komunikasi dua arah.
Ada senyap sejenak. Kiwir memperhatikan Misro yang tiba-tiba tampak gelisah.
Misro: Sebentar Bang, ini ada sms dari isteriku. Gawat. Katanya anakku baru saja dibawa ke dokter dekat rumah. Dia bilang anakku kena usus buntu. Wah, gimana ya? Harus dioperasi segera, Bang. Aku gak punya duit...
Kiwir: Lho, Bung Misro kan gak perlu bayar... Sudah punya KJS kan?
Misro: Belum Bang. Gimana ya? Bisa pinjam KJS Abang dulu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar