DULU waktu kecil saya selalu tom-tomen jika ingat matinya Dursasana dalam Bharatayuda. Rasanya mengerikan betul. Beda sekali dengan matinya Gatutkaca, Abimanyu, serta Dipati Karna. Sebab, ketiga-tiganya mati karena panah. Gatutkaca dihajar kuntawijaya, Abimanyu dikrocok panah sewu, dan Basukarna oleh pasopati dari tangan Srikandi. Sedangkan Dursasana menyerah pada kuku pancanaka dan Rujak Polo-nya Bimasena.
Matinya Gatutkaca, Abimanyu, Dipati Karna, maupun Resi Bhisma, memang mengharukan, karena di balik kematiannya ada kisah pilu tersendiri. Tapi kalau Dursasana, cara matinya itu yang bikin merinding. Bima benar-benar "menyiksanya" habis-habisan. Sambil nunggu Drupadi, Dursasana dijadikan pangewan-ewan. Sebelum kepala diremuk, tangan kakinya dilumpuhkan. Disempal-sempal dengan rujak polo sampai hancur. Karena sudah mirip bangkai, Dursana tinggal bisa ngalup pati. Melolong kesakitan di tepi bengawan Cing-cing Goling, minta segera disempurnakan saja. Tapi Bima belum juga meluluskan. Ia masih memuaskan dendam kesumatnya sejak diusir dari Hastinapura dalam kisah Pandawa Dadu. Baru setelah sang kakak ipar, Dewi Drupadi datang dengan rambut terurai siap keramas, rujak polo menuntaskan nasib Dursasana sampai di situ. Luar biasa!
Tak disangka-sangka ngalup pati seperti dialami Dursasana itu sekarang kita dengar setiap hari. Tetapi itu bukan berasal dari mulut orang macam Dursasana, namun ngalup pati-nya sanak kadang wong cilik yang nemahi pepetenging urip. Kalau dulu kita mendengarnya lewat dongeng ki dalang, sekarang lewat televisi. Sambil tiduran, baca koran dan makan kacang, kita dapat nonton mereka melolong, meratap, menangis. Tak kuasa melawan "kesaktian" para aparat ketika mempertahankan rumah, lapak, kios, gerobak dagangan yang jadi sanguning urip luru pangupajiwa. Kalau dulu Pandawa menggusur Kurawa yang lalim dan angkara murka, kini ngalup pati muncul dari mulut kalangan pidak pedarakan yang harus menyerah pada tangan besi yang merasa memiliki setiap jengkal tanah di negeri ini.
Menyaksikan simbok-simbah dan bocah-bocah yang tergusur, kadang kita hanya bisa ngelus dhadha. Apakah harus, mereka itu dirodha peksa? Harus diglandhang dadi pangewan-ewan hanya karena mereka soroh amuk, nerak angger-angger, nrajang wewaler yang sudah ditetapkan oleh para pangageng parentahaning nagari? Ah, apa pun namanya, mbok ya jangan demikian: "Ngono ya ngono, ning aja ngono."
Soalnya, pamer kekuatan menurut adat Jawa merupakan sikap yang sebaiknya dihindari. Apalagi kalau pamer kesaktian itu pada sanak kerabat sendiri, pada wong cilik ongkak-angkik, kaum pidak pedarakan yang hidupnya masih kecingkrangan! Jelas menanglah. Mana mungkin bedil dan buldozer kalah melawan bakul-bakul jalanan itu?
Namun sekali lagi, mbok aja dumeh. Seperti disampaikan oleh Ki Yasadipura dalam serat Wicarakeras-nya pupuh V, bait ke-7 yang berbunyi: "Kang rahayu budine aja tekabur/aja dumeh yen densihi, aja dumeh yen den ugung/aja dumeh denwedeni/aja dumeh den royom." Di mana maksudnya agar siapa pun mawas diri, sehingga mampu mengekang sikap sewenang-wenang kepada orang lain. Terutama bagi para penguasa, jangan sampai "kewenangan" yang dimiliki gampang berubah menjadi "kesewenangan" yang nggegirisi.
Yang memprihatinkan dari semua itu adalah ngalup pati sekarang benar-benar mawujud. Sudahmangejawantah. Bukan lagi dongeng ki dalang yang diiringi gending megatruh atau maskumambang lagi, dan kita dengan enak kepenak menyaksikannya sambil makan nyamikan dan minum kopi. Apakah dengan demikian kita juga sudah ketularan tidak punya hati seperti gada rujak polo-nya Bimasena?
Ketika Bimasena membunuh Dursasana dalam perang tanding di tepi bengawan Cing-cing Goling, jelas saat itu dirinya sedang terbakar oleh dendam kesumat yang dipendam berpuluh tahun lamanya. Maka masuk akal kalau dia tidak bergeming mendengar ngalup pati-nya Dursasana. Meskipun dirinya sadar juga kalau menyiksa musuh yang sudah kalah bukan perilaku satriya tama. Tetapi ngalup pati-nya Dursasana memang tak perlu digubris, karena lolongan itu bukan berasal dari rasa pasrah sumarah yang dilandasi kebeningan hati. Melainkan, wujud dari keringkihannya menerima sapu dendaning jagad atas keangkaramurkaannya sendiri.
Ngalup pati-nya Dursasana adalah bukti kekalahan jiwa raganya terhadap kebenaran. Sedangkan ngalup pati-nya kawula alit yang setiap hari muncul di televisi adalah lolongan tangis orang-orang tertindas, di mana milik serta kesempatannya untuk mencari sesuap nasi terampas. Jadi, meskipun mrinding membayangkan betapa remuknya mayat Dursasana saat itu, sejak kecil saya tetap bersikukuh. Dursasana pantas menerimanya.
Beda "ngalup pati" yang sekarang jadi tontonan di televisi. Rasanya mereka bukan orang-orang yang kesinungan dosa gedhe. Mereka hanya pengais rezeki, pencari remah dan sampah. Jadi, kok tidak pantas sepertinya negara memamerkan kesaktian untuk menggusurnya dari tanah Jawa yang selama ini membesarkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar