Sabtu, 20 Juli 2013

"AJI"

BELUM lama ini saya naik mobil disopiri Fadli, teman yang sarjana pertanian. Ketika lewat bulak panjang kami melihat banyak sekali petani sedang tandur atau menanam padi di hamparan sawah yang amat luas. Bahkan sebagian besar sawah sudah menghijau oleh padi yang belum lama ditanam. Saya sedang menikmati mozaik yang menutupi sawah luas itu ketika Fadli tiba-tiba bertanya. "Apakah para petani itu mengerti dan menyadari bahwa yang sedang mereka lakukan adalah upaya menangkap enerji matahari?"
Wah, ini pertanyaan seorang sarjana pertanian. Ya, bertanam padi adalah upaya menangkap dan menyimpan energi matahari melalui proses fotosintesis. Proses ini terjadi dalam butir-butir hijau daun. Gampangnya, dalam butir hijau daun bertemu dua unsur penting yaitu air dan sinar matahari dan zat-zat hara. Maka terbentuklah tepung atau karbohidrat yang menjadi sumber energi dalam tubuh manusia.
Pertanyaan Fadli belum saya jawab. Saya malah jadi ingat tetangga penjual es dawet yang setiap pagi memecah biji kelapa untuk diambil santannya. Apakah dia menyadari ketika kelapa terpecah telah terjadi pembebasan energi, yaitu kekuatan yang tadinya mengikat biji itu berbentuk bulat dan utuh?
Saya tersenyum karena jawaban untuk Fadli sudah saya temukan dengan pasti. "Tidak." Namun jawaban ini masih saya simpan di hati karena pikiran saya terus melayang. Saya teringat data terakhir menyebutkan penduduk Indonesia hanya 17% yang tamat SLTA. Jadi khusus masyarakat Jawa juga demikian. Dari jumlah itu pasti tidak semuanya mampu memahami proses fotosintesis terjadi dalam butir hijau daun. Juga tidak semuanya fasih bicara seputar energi (kalau enerjoss, tak tahulah).
Atau lihatlah ke belakang. Pada 1830-an sesudah Perang Dipanegara, ada penelitian yang menyebutkan tingkat pengetahuan sains orang Jawa dewasa setara dengan anak-anak usia 12 tahun di Belanda. Padahal tentang apa, mengapa dan bagaimana energi itu hanya bisa diungkap melalui ilmu pengetahuan sains dan teknologi.
Tapi jangan kira orang Jawa tidak punya pengertian tentang daya yang gampangnya bisa dikatakan sama dengan energi. Ketika mengatakan "Rosa!" untuk mengiklankan sebuah minuman suplemen, Mbah Marijan jelas sedang menyebut besaran energi. Lebih-lebih dalam cerita wayang. Dalam lakon Rama Nitis (Prabu Rama tokoh utama cerita Ramayana yang Buddha menitis kepada Raja Puntadewa, tokoh cerita Mahabarata yang Hindu, dan ini terjadi khas di Jawa) ada pertempuran antara Bima dan Hanoman.
Dalam pertempuran itu Bima matak-aji Lembu Sakethi dan Hanoman menggunakan aji Bala Sewu. Dengan aji Lembu-Sakethi Bima jadi punya kekuatan setara dengan energi yang dimiliki oleh sepuluh ribu sapi. Aji Bala Sewu menyebabkan Hanoman kuat seperti seribu raksasa. Lembu Sakethi dan Bala Sewu adalah besaran energi. Sama juga dengan kekuatan senjata Kunta Wijayadanu yang dipakai oleh Karna untuk merontokkan Gatotkaca. Senjata itu dipercaya oleh orang Jawa punya kekuatan dahsyat dan mampu mengejar dan menemukan sasarannya sendiri. Jadi senjata ini harus punya energi yang dahsyat pula.
Jadi sesungguhnya sejak dulu orang Jawa sudah tahu ada sesuatau yang namanya daya, kekuatan, atau energi. Namun pengetahuan itu tumbuh dan terbungkus dalam pola pikir mitologis, tidak dalam pola pikir empirik. Andaikata orang Jawa sejak dulu meletakan perihal energi itu dalam pola pikir empiris, mungkin aji Lembu Sekethi dan sebagainya akan diaplikasikan kedalam kehidupan nyata sebagai kincir air, kincir angin, mesin letup, atau mesin uap. Senjata Kunta Wijayadanu akan diolah melalui rekayasa teknologi menjadi smart bomb atau peluru kendali yang bisa mencapai sasaran di mana pun targetnya berada.
Sayang, karena dipandang secara mitos maka simbol-simbol energi yang berupa aji-aji itu yang tinggal jadi aji yang hanya hidup di alam dongeng dan tidak memberi manfaat nyata. Lain halnya di dunia Barat. Ketika abad silam Yules Verne memnulis cerita mitos tentang penerbangan antarbintang dengan wahana yang disebutnya sebagai rocketship, orang di Barat berusaha mewujudkannya melalui kajian empirik dan berhasil. Kalau orang di Barat seabad lalu memasang mesin di kereta-kereta kuda, orang Jawa hingga saat ini malah hanya memandikan misalnya kereta Kiai Garuda Yaksa yang buatan Inggris itu dalam suatu ritual yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak aneh kalau air cucian kereta tua itu dipercaya bisa menjadi berkah.
Tapi nanti dulu. Mari bicara soal ilmu teluh atau santet yang masih hidup dan dipercaya eksistensinya di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam perteluhan, orang bisa memasukkan piring, bahkan paku ke dalam orang tertentu yang dijadikan korban. Dalam hal ini dunia perteluhan hanya mengatakan bahwa dengan mantra tertentu, laku tertentu maka orang bisa memasukkan benda apa saja ke dalam tubuh manusia tanpa mebuat jejak apa pun. Dan apa kata mereka yang berada di dunia empirisme?
Mereka tidak bisa bilang apa-apa kecuali menyusun hipotetis yang spekulatif. Bahwa benda-benda itu telah diubah oleh para dukun teluh menjadi eter, bentuk keempat benda setelah kondisi padat, cair dan gas. Eter ini adalah energi. Sebab konon benda atau materi sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan adalah energi yang terperangkap dalam kondisi tertentu.
Sepanjang spekulasi tadi, setelah berubah menjadi eter benda itu dikirim ke korban dengan mudah karena sifatnya yang mampu menembus segala benda. Dan sampai di tujuan eter itu dikembalikan ke status semula sebagai benda padat, menjadi, piring, rambut dan sebagainya. Konon.
Namun konon atau tidak, teluh atau santet masuk wilayah hukum resmi sehingga kategori pidana santet. Jadi permainan energi, walaum hanya berkembang di alam klenik dan mitologi, orang Jawa tidak ketinggalan. Masalahnya, jangan coba-coba tanya kepada orang Jawa yang jadi tukang santet berapa banyak energi yang diperlukan untuk mengirim paku dan sebagainya. Ke dalam perut manusia? Yakin, dia tidak akan bisa menjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar