Di zaman digital ini, rasanya sulit
membayangkan seorang yang buta huruf bisa menjadi pengusaha sukses.
Tapi Kasiyem Roesmadji, pengusaha sambal pecel asal Madiun, Jawa Timur,
bisa membuktikan: keterbatasan pendidikan bukan halangan untuk mengecap
keberhasilan.
Tengok saja. Pada kelas 3 sekolah
dasar (SD), Kasiyem harus meninggalkan bangku sekolah karena kedua
orangtua tidak punya biaya. Ayah Kasiyem hanyalah seorang buruh di PT
Inka, Madiun. Sehari-hari, ia lebih banyak berjualan mangga dan jambu
kluthuk (jambu biji) di pasar bersama kakeknya.
Kasiyem sendiri adalah anak ketujuh
dari 12 bersaudara. Hingga menikah dengan petani bernama Roesmadji,
naluri dagang Kasiyem tak pernah luntur. Di rumahnya di Jalan Delima 32,
Madiun, dia berjualan es dawet setelah aneka gorengan buatannya tak
laku alias gagal.
Kebetulan, rumah
Kasiyem berdekatan dengan kantor cabang PT Telkom dan Perum Pegadaian.
Tapi, harapan es dawet buatannya disukai pegawai perusahaan pelat merah
tersebut ternyata kandas.
Toh, itu tidak menyurutkan
semangatnya berwirausaha. Kasiyem lalu mencoba berjualan nasi pecel
untuk melayani kebutuhan pegawai kantor di sekitar rumahnya tersebut.
Eh, ternyata peruntungan Kasiyem
mulai berubah. Dagangan nasi pecelnya disukai banyak pembeli. Buktinya,
warung yang ia buka mulai pukul enam pagi tersebut sudah tutup pada
pukul delapan pagi. Laris.
Warung nasi pecel Kasiyem biasa
menghabiskan 10 kilogram sambal pecel dalam sehari. Tapi, di tengah
jalan ia merasa repot kalau terus berjualan nasi pecel. Kasiyem
berinisiatif membuat sambal pecel saja.
Tepatnya, pada 1971, Kasiyem
mencoba memproduksi sambal pecel khas Madiun. Untuk menembus pasar,
sambal pecel itu ia bungkus dalam ukuran 2,5 ons sampai 5 ons.
Makin lama makin banyak orang yang
tahu akan sedapnya sambal pecel Kasiyem. Bahkan, banyak pembeli yang
memesan dalam paket besar. “Kebanyakan pembeli adalah pegawai Telkom dan
Pegadaian,” kata ibu lima anak ini.
Menurut Kasiyem, sambal pecel
buatannya bisa terkenal sampai ke Solo dan Jogja berkat informasi dari
mulut orang yang pernah mencoba rasanya. Kasiyem pun mulai berpikir
untuk memberi label pada sambal pecel buatannya agar tidak ada yang
meniru.
Alhasil, pada tahun 1990, pengusaha
yang lebih dikenal dengan nama Bu Roesmadji ini memberi label “Cap
Jeruk Purut” pada sambal pecel buatannya. Nama jeruk purut dipilih
lantaran ia menyisipkan daun jeruk purut itu untuk memperkuat rasa
sambal pecelnya.
Selanjutnya, karena sudah terkenal
dan memiliki banyak pelanggan, Kasiyem bisa mendapatkan pinjaman dana
dari PT Inka sebesar Rp 10 juta untuk mengembangkan usaha. Ia
menggunakan uang itu untuk memproduksi sambal pecel lebih banyak lagi.
Seiring peningkatan produksi sambal
pecel Cap Jeruk Purut, PT Inka menggelontorkan pinjaman Rp 10 juta lagi
ke Bu Roesmadji. “Total saya dapat Rp 20 juta,” kata dia.
Setelah memberi label, Bu Roesmadji
berpikir untuk mendapatkan hak paten buat sambal pecel Cap Jeruk Purut.
Tapi, karena mengurus hak paten waktu itu sulit, Bu Roesmadji pun
mengurungkan niatnya.
Eh, tidak disangka, berkat bantuan
beberapa orang yang ia kenal, Kasiyem bisa mendapatkan hak paten pada
tahun 2000. “Lalu, pada 2002 sambal Cap Jeruk Purut mendapatkan
sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat,” ujar
pengusaha yang kini mempekerjakan 25 orang pegawai ini.
Bu Roesmadji menuturkan, sehari ia
bisa menjual 600 bungkus sambal pecel, dengan harga Rp 5.000 untuk
ukuran 2,5 ons, Rp 11.000 per 5 ons, dan Rp 20.000 per kilogram.
Alhasil, dengan jumlah produksi rata-rata 1,5 kuintal sehari, ia bisa
mengantongi omzet Rp 200 juta per bulan dari usaha sambal pecel Cap
Jeruk Purut ini.
Bagaimana tidak, pelanggan sambal
pecel Cap Jeruk Purut sudah meluas hingga ke kalangan instansi
pemerintah, perusahaan swasta, toko, maupun pejabat pemerintah. Bahkan,
pemasaran sambal pecel Bu Roesmadji sudah menyebar hingga ke Malang,
Surabaya, Bali, Bandung, dan Jakarta.
Hebatnya lagi, sambal pecel
produksi Bu Roesmadji ini sudah singgah ke Belanda. Pernah dalam sepekan
ia bisa mengirim sebanyak 1 ton sambal pecel ke Negeri Kincir Angin
itu.
Kendati begitu, ujian juga
menghampiri Kasiyem. Saat permintaan dari Belanda meledak pada 1995,
Pemerintah Kota Madiun mengalihkan order ke pengusaha lain. Alasannya,
harga sambal pecel Bu Roesmadji terlalu mahal.
Tapi, karena sambal pecel itu
berbeda dengan buatannya, pengusaha di sana menolak. “Sambal pecel itu
sudah bau meski baru 15 hari,” ujar dia. Alhasil, Kasiyem pun kembali
menjalin kontak agar ada lagi pesanan ekspor.
Kasiyem Roesmadji sudah membuktikan
bahwa sambal pecel khas Madiun bisa mendunia. Setelah berhasil
mengekspor sambal pecel Cap Jeruk Purut ke Negeri Kincir Angin, Belanda,
Bu Roesmadji kini membidik pasar Malaysia dan Singapura.
Bu Roesmadji bilang, beberapa bulan
sebelum pemilihan Walikota Madiun, ia sempat diundang untuk membahas
rencana ekspor sambal pecel ke dua negara tetangga itu. Tapi, hingga
saat ini belum ada realisasi sama sekali.
Nah, setelah Walikota Madiun yang
baru terpilih, Bu Roesmadji berharap bisa segera mewujudkan mimpinya
mengekspor sambal pecel ke Malaysia dan Singapura. “Saya hanya ingin
tahu bagaimana caranya,” ujar dia.
Menurut Bu Roesmadji, alasannya
membidik dua negara itu lantaran banyak warga negara di sana yang
menyukai sambal pecel. Hal itu ia dengar dari beberapa sanak saudaranya
asal Madiun yang tinggal di Singapura dan Malaysia.
Tak hanya ke dua negara itu,
Kasiyem juga ingin menjajal pasar ekspor Arab Saudi, terutama saat musim
haji. Pasalnya, permintaan sambal pecel di sana juga oke. “Pemerintah
mesti memberi perhatian ke usaha seperti kami. Sebab peluangnya
menjanjikan,” kata dia. (bn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar