Sabtu, 20 Juli 2013

Ayo, Siapa Berani Memimpin?

image















JANGAN pernah melihat kepemimpinan hanya dari yang memimpin. Cobalah pula untuk menengok paras yang dipimpin.
Bukankah antara yang paring pengayoman dan konjuk kabekten mesti membangun relasi "saling mengerti".
Sugiharto dalam buku Kepemimpinan Jawa (2010) menyebut setidaknya ada tiga situasi yang akan dihadapi orang dalam menduduki jabatan, yakni pemimpin, pengikut, dan situasi. Pemimpin terkait dengan personalitas, posisi, kepakaran. Pengikut berhubungan dengan kepercayaan, kepatuhan, dan pemikiran kritis. Situasi berkaitan dengan kerja, tekanan, dan lingkungan. Tiga elemen ini saling berinteraksi dalam hubungan saling membutuhkan dengan kapasitas masing-masing.
Memahami proses kepemimpinan dengan baik memang dapat dilakukan hanya dengan melihat sosok pemimpinnya, tetapi juga pengikutnya.
Bagaimana pemimpin dan pengikut saling memengaruhi, juga bagaimana situasi bisa memengaruhi kemampuan dan tingkah laku keduanya.
Pakar pedalangan Bambang Murtiyoso mengemukakan, pemimpin haruslah memiliki kepekaan lebih dan mengerti skala prioritas. Mana perkara yang harus diselesaikan dahulu, itulah yang harus dipriporitaskan (hambeg paramarta). Selain itu, pucuk pimpinan harus pula dapat mengelola segala sesuatu dengan baik supaya orang-orang di bawahnya tidak iren.
Dalam konsep Jawa, Murtiyoso mengatakan, sering dikenal istilah aweh payung marang wong kang kudanan, aweh teken marang wong kalunyon, aweh boga marang wong kaluwen, aweh banyu marang wong kasatan. `'Telah jelas dalam unenunen tersebut, sosok pemimpin haruslah memberikan sesuatu apa pun yang tepat sasaran,“ ujar penulis buku Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang itu.
Konsekuensi dari hal tersebut, dia melanjutkan, orang yang memimpin tak boleh mempunyai keberpihakan, sekalipun kepada keluarga. Bila dalam perjalanannya mungkin ada kesalahan yang diperbuat, harus diberi peringatan sampai dengan hukuman, sesuai dengan tingkat kesalahan, kepada siapa pun. Termasuk memberikan penghargaan kepada yang berprestasi.
Murtiyoso kemudian mencontohkan, dalam melindungi rakyatnya, pemimpin -dalam hal ini pemerintahharus berwatak keprajuritan. Hal ini sungguh penting untuk melindungi dan menjamin rakyat terbebas dari ancaman keamanan. Sebuah negara harus mampu mengelola keamanan dengan baik, mencegah ancaman yang datang dari dalam maupun luar.
Selain itu, pemerintah pun seyogianya mampu menjamin kesejahteraan warga. Sedapat mungkin warga diarahkan untuk pekerjaan yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam dan manusia. “Semua hal itu tidak mungkin tercapai jika punjering adil hanya mengandalkan setumpuk laporan dari bawahan. Lebih sulit lagi memajukan negara, jika pucuk pimpinan masih mengedepankan materialistis, semua diukur dengan materi,“ kata pakar pakeliran itu.
Dalam dunia pewayangan, telah digambarkan pula bagaimana ayah dari para Kurawa, Destarastra, menyesali dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak dapat melihat, banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintah negara sebesar Hastinapura. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan yang sering tidak sesuai dengan kenyataan. Syahdan, negara kala itu pun karut marut.
Mengingatkan Sedangkan dalam konteks mengingatkan pemimpin, Murtiyoso mengatakan, semenjak dahulu Jawa selalu mengedepankan musyawarah. Makin minimnya komunikasi antara ratu dan rakyat menandakan buruknya keadaan. “Bila tidak menemukan jalan keluar, dahulu rakyat melakukan laku pepe -berjemur di terik mataharisebagai bentuk protes kepada ratu,” jelasnya. Sistem pemerintahan yang kala itu feodal, membuat pemimpin sebagai sentral pengendalian wilayah. Pemangku kepentingan dapat menjamin dan bertanggung jawab penuh atas rakyatnya.
Senada dengan Murtiyoso, nilai-nilai kepemimpinan juga disebutkan Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama. Raja yang memerintah Surakarta tahun 1853-1881 itu banyak menyampaikan nilai seperti andhap asor, bersikap kesatria, dan menjalankan laku prihatin dalam tembang Sinom; Bonggan kang tan merlokena, mungguh ugering ngaurip, uripe ing tri prakara, wirya harta tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan katelu, telas telasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara. Tembang ini pada intinya mengajarkan, dalam kehidupan, orang harus memiliki martabat atau harga diri. Ia harus mampu meraih tiga perkara, yaitu kedudukan, kekayaan, dan kepandaian. Jika ia tidak mampu meraih hal itu, hilanglah martabat kemanusiaannya; lebih berharga daun jati kering.
Dosen Jurusan Hukum Universitas Negeri Semarang Dr Indah Sri Utari mengemukakan, dalam konteks kepemimpinan, Ki Hadjar Dewantara telah banyak memberikan teladan. Bahkan hingga kini menjadi jargon pendidikan; ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ing ngarsa sung tuladha menekankan peran seorang pemimpin sebagai tokoh yang harus bisa diteladani, sebagai nakhoda, ia harus membimbing dan memberi arah ke mana kapal hendak ia bawa.
Ing madya mangun karsa, pemimpin harus bisa membangkitkan semangat orang yang ia pimpin. Membangkitkan gairah untuk mewujudkan kepentingan bersama. Seorang pemimpin adalah motivator, tak ubahnya matahari yang mampu memberikan energi kepada semua makhluk hidup di bumi.
Akhirnya, seorang pemimpin harus mempu bersikap tut wuri handayani, menyediakan kesempatan untuk berkembang bagi yang dipimpin.
Seseorang memenuhi syarat untuk menjadi seorang pemimpin ketika dia mampu mengedepankan orang lain terlebih dahulu. Keberhasilan memimpin terkait juga dengan keberhasilannya membuat orang-orang yang dipimpinnya berhasil. “Secara hakiki seorang pemimpin adalah seorang yang memegang kendali untuk membuat orang lain mendapatkan kendali. Kewenangan yang dimiliki pada hakekatnya adalah kewenangan untuk memungkinkan orang lain memiliki kendali atas pekerjaan dan kehidupannya,“ kata Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unnes itu.
Sampai batas tertentu, simbolisme itu perlu dan baik, asalkan tidak over dan berdasar pada realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna mencapai makna yang nyata dari simbol-simbol itu sendiri. Kita menaruh kekhawatiran besar, jika kemudian yang menjadi penting adalah ungkapanungkapan sebagai hegemoni pencitraan, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku budaya masyarakat.
Seiring laju zaman, apa yang terjadi pada masamasa berikutnya adalah terbentuknya formula baru tentang konsep kepemimpinan. Namun, kita tetap mendambakan sosok kepemimpinan yang melekat pada diri seorang pemimpin, dengan kesempurnaan karakter seorang Satria Pinandhita, yang mungkin hanya dapat kita raih melalui mimpi-mimpi kita.
Setiap pemegang kekuasaan haruslah satyawacana, satunya kata dengan perbuatan. Hal itu penting untuk mempertahankan kepercayaan dan kewibawaan di mata rakyat. Makin minimnya keteladanan aktual dan hanya mengedepankan konteks verbal, membuat rakyat kian minim kepercayaan dan benar-benar merindukan sosok pemimpin yang mengayomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar